Setelah
pada artikel sebelumnya Anda telah dipompa sedemikian rupa, tiba saatnya Anda
menyimak beberapa petunjuk yang barangkali bisa berguna buat Anda.
A.
Pastikan
kalimat pertama menarik perhatian
Mulailah bercerita dengan ringkas.
Libatkan pembaca tanpa banyak memberi penjelasan atau info rinci. Membuka
cerita dengan kalimat langsung merupakan awal yang menarik. Coba baca 2 contoh
di bawah ini!
Versi 1:
Pagi
Senin yang cerah. Pukul 07.29. Di depan gerbang sebuah SMU seorang siswi turun
dari sebuah angkot. Ia berjalan tergesa-gesa. Beberapa kali ia mengangkat
lengan kirinya. Setiap ia melakukan hal itu matanya selalu melotot ke arah
pergelangan tangannya. Sebuah jam tangan berwarna pink melingkar di situ. Jarum
pendeknya telah melampaui batas yang diharapkan si gadis.
Rini,
Rini Anggraeni nama gadis itu. Ia dikenal sebagai gadis yang cerdas dan
disiplin di sekolahnya. Tapi kali ini ia datang terlambat dari waktu yang ia
rencanakan, mestinya 15 menit sebelum upacara dimulai. Salahnya sendiri, semalam
ia begadang menonton acara Take Him Out di TV.
Versi 2:
“Adduh...!
Semenit lagi...? Mati aku!” Rini melompat turun dari sebuah angkot sambil
melirik jam tangannya. Pak Ali, satpam sekolah, siap-siap menutup pintu
gerbang. “Tunggu, Pak!” Tangan kanan gadis itu menahan pintu gerbang tersebut.
“Tumben,
Neng? Biasanya paling pagi,” sapa Pak Ali.
“Semalam
nonton Take Him Out, Pak!” Teriak Rini tanpa menoleh. Ia berlari bagai terbang,
diiringi tatapan ratusan pasang mata
teman-temannya yang mulai berbaris di halaman.
Bandingkan
kedua versi di atas. Bukan mana yang boleh
dan tidak boleh dan mana yang lebih bagus dan kurang bagus? Keduanya boleh dan bagus. Masing-masing penulis
mempunyai gaya yang berbeda. Cuma versi 2 kayaknya lebih menarik. Bahasanya
langsung, lincah dan ringan. Ibarat camilan, tidak repot memakannya, tinggal comot,
dikunyah dan tidak cepat membuat kenyang. Akibatnya pembaca akan terus
membacanya, dan tidak akan berhenti sebelum habis.
B.
Bukan
mengatakan tapi tunjukkan
Contoh:
·
Lelaki itu itu mulai kelelahan. Beban di pundaknya
terasa semakin berat.
Bandingkan dengan:
·
Napas
lelaki itu mulai ngos-ngosan, langkahnya
pun gontai. Beban yang dibawanya semakin
dalam menekan pundaknya.
Contoh lain:
·
Alangkah
kagetnya 1) Karyo ketika
melihat bayinya yang baru lahir. Orok itu tampak sehat, gemuk dan merah segar,
tapi tak lengkap. Lengan kanannya
runcing sebatas siku, lengan satunya lagi bertelapak tanpa jari-jari.
Karyo tak percaya 2) dengan apa yang dilihatnya. Ia gugup3)
Bandingkan dengan:
·
“Haah..!” 1) Mata Karyo mendelik melihat sosok
bayinya yang baru lahir. Orok itu tampak sehat, gemuk dan merah segar, tapi tak
lengkap. Lengan kanannya runcing sebatas
siku, lengan satunya lagi bertelapak tanpa jari-jari.
·
“Tak mungkin!”2) jeritnya kemudian. Bibirnya bergetar dan kerongkongannya kering.3)
Dari contoh di atas coba kita rinci
dan perjelas dengan tabel seperti berikut:
Dikatakan
|
Ditunjukkan
|
· Kelelahan
· Berat
· Alangkah
kagetnya
· Tak
percaya
· Gugup
|
· Ngos-ngosan,
langkahnya pun gontai
· Semakin
dalam menekan
· “Haah...!”
Mata Karyo mendelik
· “Tak
mungkin!” jeritnya
· Bibirnya
bergetar
|
C.
Eksperimen
dengan berbagai gaya
Lain lubuk lain ikannya, lain ladang
lain pula belalangnya.
Lain otak lain pemikirannya, lain hati
lain pula perasaannya.
Begitu juga dengan gaya. Tiap orang
tentu mempunyai gaya masing-masing, berbeda antara yang satu dengan yang
lainnya. Entah itu gaya bicara, berjalan, makan, minum, membaca atau menulis.
Tentang gaya berjalan, kita ketahui
bahwa manusia belumlah belajar bergaya sebelum ia bisa berjalan. Jadi, bisa
lebih dulu berjalan barulah kemudian dipikirkan gaya. Dan nanti ketika ia sudah
terampil berjalan, biasanya mulai menirukan gaya berjalan orang yang
dikaguminya. Namun kemudian, gaya yang akhirnya melekat pada dirinya, yang
digunakannya secara otomatis dan tidak disadari, adalah gayanya sendiri, yang
unik tidak ada duanya.
Sering kita melihat seseorang meniru
gaya orang lain padahal postur tubuhnya tidak memungkinkan untuk bergaya
seperti itu. Misalnya, orang yang kurus kering berjalan membusungkan dada,
berlagak seperti jagoan, bisa-bisa orang menjadi iba atau tertawa melihat hal
itu. Menirukan gaya orang lain memang bisa menjadi bahan lawakan yang tidak ada
habis-habisnya. Hal itu mengingatkan kita pada sebuah fabel.
Dulu,
konon burung gagak tidak berjalan seperti gayanya yang sekarang. Tapi karena
kagum pada burung murai yang berjalan indah, anggun melenggak-lenggok seperti
peragawati di catwalk, lalu ia berusaha meniru. Namun apa yang terjadi kemudian
tidak seperti yang di harapkan. Bertahun-tahun burung gagak belajar untuk itu,
tapi tak juga berhasil. Bahkan jalannya tambah kacau. Akhirnya ia putus asa, ia
ingin kembali berjalan seperti gayanya yang dulu tapi sayang ia sudah lupa.
Itu
sebabnya gaya berjalan burung gagak sampai saat ini tampak lucu.
Hal yang mirip dengan hal itu dapat
pula kita katakan untuk gaya menulis. Kita dapat melihat, menganalisis atau
mempelajari gaya menulis seseorang, kita bahkan dapat mencoba menirukan gaya
tersebut, namun ketika kita menulis sungguhan sebaiknyalah kita gunakan gaya
kita sendiri, yang sesuai dengan jalan pikiran dan perasaan kita sendiri. Kalau
kita cukup sering menulis, gaya pribadi ini akan muncul dengan sendirinya.
Justru karena gaya yang khas, tiada duanya itu, yang membuat karya kita dilirik
orang. Sering kita mendengar, “Itu mah
sudah biasa, bosan ah! Kalau yang ini tumben kita jumpai. Rugi kalau tak
membacanya.”
Nah, bisa jadi yang tumben dijumpai itu adalah karya Anda. Tak
mustahil itu bisa terjadi. Optimislah!
Simaklah paragraf pembuka dari tiga
novelis terkenal berikut ini! Samakah cara mereka melukiskan ‘suhu panas’?
SANG PEMIMPI
(Andrea Hirata)
Daratan
ini mencuat dari perut bumi laksana tanah yang dilantakkan tenaga dahsyat
kataklismik. Menggelegak sebab lahar meluap-luap di bawahnya. Lalu membubung di
atasnya, langit terbelah dua. Di satu bagian langit, matahari rendah
memantulkan uap lengket yang terjebak ditudungi cendawan gelap gulita,
menjerang pesisir sejak pagi.
***
AYAT-AYAT CINTA
(Habiburrahman El
Shirazy)
Tengah hari ini, kota
Cairo seakan membara. Matahari berpijar di tengah petala langit. Seumpama lidah
api yang menjulur dan menjilat-jilat bumi. Tanah dan pasir menguapkan bau
neraka. Hembusan angin sahara disertai debu yang bergulung-gulung menambah
panas udara semakin tinggi dari detik ke detik. Penduduknya, banyak yang
berlindung dalam flat yang ada dalam apartemen-apartemen berbentuk kubus dengan
pintu, jendela dan tirai tertutup rapat.
***
AKU MENGGUGAT AKHWAT
DAN IKHWAN
(Fajar Agustanto)
Panas
terik matahari, bersinar. Terlihat bayang-bayang fatamorgana di depan aspal
yang aku lewati. Panas sekali. Angkot yang aku tumpangi pun, malaju dengan
kecepatan yang sedang. Bagaikan menikmati hawa panas yang menyengat kulit.
Apalagi aku, dengan jilbabku ini. Keringat sudah dari tadi mengalir deras
ditubuhku. Tetapi, karena aku memakai pakaian yang berlapis. Dengan jilbab yang
mengurai lebar dan besar. Sehingga mungkin keringatku tertahan. Dan tidak
sampai membuatku menjadi terlihat sebagai pepesan akhwat. Tetapi, tidak sedikit pula keringat yang
mengalir deras diwajahku.
***
D.
Menulislah
dengan karakter tokoh berlainan
Dalam cerpen Anda sebaiknya memasukkan
tokoh dengan karakter-karakter yang berlainan, watak, suku, budaya atau agama.
Dengan begitu tulisan akan menjadi hidup dan realistis.
Watak tidak selalu serius. Bisa kalem,
blak-blakan, ke malu- maluan, kocak, pemarah dan lain sebagainya. Begitu juga
dengan suku, budaya dan agama. Tapi ingat! hindari tulisan Anda dari
unsur-unsur yang berbau atau membenturkan unsur SARA tersebut.
E.
Gunakan
dialog untuk jeda narasi
Yang dimaksud dengan dialog adalah
percakapan antar tokoh dalam narasi. Jalan cerita, karakter tokoh, konflik dan
sebagainya disuguhkan lewat dialog. Ada cerita pendek yang miskin dialog,
bahkan tanpa dialog sama sekali. Sah-sah saja, terserah penulisnya, dia punya
hak penuh atas karyanya.
Namun sebaiknyalah ada dialog
secukupnya sebagai jeda narasi. Yaah..., semacam variasi agar tidak monoton,
tidak melulu diceritakan oleh narator
saja. Di samping itu, ada ungkapan-ungkapan perasaaan yang lebih tajam dan
lebih dalam maknanya jika disampaikan dengan dialog.
F.
Bacalah
keras-keras dan tulislah ulang untuk melancarkan alur
Perasaan cepat puas adalah perasaan
yang harus dibuang jauh-jauh. Perasaan ini menghalangi kemungkinan kita menjadi
penulis. Sering-sering kita terkagum-kagum pada hasil kerja kita sendiri.
Selesai menuliskan suatu karangan, kita merasa cukup puas, dan berhenti sampai
di situ.
Sikap menang sendiri juga merupakan
hambatan utama untuk menjadi penulis. menulis adalah usaha untuk berkomunikasi
yang mempunyai aturan main serta kebiasaan-kebiasaannya sendiri. Hasil tulisan
kita merupakan satu-satunya media untuk menyampaikan ‘pesan’ yang ingin kita
sampaikan. maksudnya, sesudah kita tuliskan, tidak dapat lagi kita tambahi
dengan pesan lisan, “Maksud saya begini, bukan begitu.” Oleh karena itulah
aturan main dan kebiasaan menulis harus
kita hormati, dan jika menulis mengenai kerbau hendaknya para pembaca juga
mendapat informasi mengenai kerbau, bukan sapi, anjing atau binatang lain. hal
ini perlu diperhatikan, karena salah tanggap atas sisi satu tulisan sering
terjadi.
Seorang penulis harus memiliki
kerendahan hati, karena apa yang ada dalam benaknya ketika menuliskan sesuatu,
belum tentu langsung bisa diterima oleh pembaca secara utuh.
Baca tulisan Anda sekali lagi, perhatikan
apakah kira-kira isinya cukup menarik bagi orang lain (tanyakan kepada orang
lain itu), apakah bahasanya cukup lazim dan tidak aneh-aneh, apakah mungkin
timbul salah tafsir, apakah ada yang masih ditambahkan untuk memperjelas,
memperhalus, atau mempertajam pesan yang ingin Anda sampaikan, atau bahkan Anda
harus memotong beberapa bagian yang
dianggap tidak perlu. Sesudah itu tulis ulanglah, kalau perlu lakukan dua tiga
kali atau lebih.
Ada banyak untungnya meminta orang
lain untuk membaca serta mengomentari tulisan kita. Itu bukan hal yang
memalukan. Dalam dunia tulis menulis hal ini bahkan sudah melembaga. Chairil
Anwar almarhum pun melakukannya. Bahkan penulis-penulis kaliber dunia seperti
Alvin Toffler dan James Mitchener menjadikan ini kebiasaan.
G.
Gunakan
kelima indera dalam deskripsi
Simak contoh berikut ini:
Ketika
untuk pertama kali aku masuk di kelas enam, mataku langsung menangkap langit-langit
yang bolong di sana-sini. Sama halnya dengan lantai yang ku pijak, kaki
harus hati-hati melangkah kalau tak ingin terantuk. Bau tak sedap menyeruak,
mengalir bebas melalui kawat jendela yang sudah tak jelas bentuk anyamannya. Bau
itu berasal dari pabrik tahu Home Industry yang ada di balik tembok belakang.
Kini
aku telah sampai di samping meja guru yang tak di beri taplak sehelai benang
pun. Herannya, anak-anak di ruangan itu seperti tak peduli dengan ke hadiranku.
Hingar bingar suara mereka membuat telingaku berdenging. Suara-suara itu
keluar dari enam puluh mulut bocah yang mungkin belum diperkenalkan sopan
santun itu. Masalahnya, sempat kudengar beberapa dari mereka nyeletuk,’Lihat,
guru baru kita itu lumayan cantik’.
Enam
puluh orang? ya, memang belum sempat kuhitung, jumlah itu kutahu dari kepala
sekolah, yang mungkin satu-satunya informasi yang patut di banggakan di sekolah
itu. Hatiku seperti menciut seketika, sanggupkah aku akan bertahan di tempat
seperti ini? fikirku.
Dan
seterusnya...
Dari contoh di atas apa yang Anda
dapatkan?
Penginderaan, ya tokoh ’Aku’ di situ telah menggunakan beberapa inderanya,
matanya melihat langit-langit yang bolong, kakinya menghindari lantai berlobang,
hidungnya mencium bau tak sedap dan telinganya menangkap suara hingar bingar.
Yakin, Anda juga bisa, kok!
***
................****
Tampilan posting sengaja admin batasi. Jika ingin membaca selengkapnya dan berniat tinggalkan komentar, silahkan klik judul dari postingan di atas. Selanjutnya akan tampil kotak komentar di bawah postingan.
Demikian Kabar dari Seberang kali ini...tunggu kabar selanjutnya!
Terima kasih atas kunjungannya. Semoga bermanfaat !