Teks Berjalan

_/***...Kutahu diam adalah emas...namun tegur sapa adalah doa. Mengapa Anda tak berkomentar, Sobat?...walau sepatah, sepi tak lagi kukunyah sendiri...?...***\_

Cari Blog Ini

Sabtu, 28 September 2013

SEJARAH LOMBOK


SURAT PEMUKA SASAK KEPADA BELANDA

            “Surat ini datang dari kami, kaum miskin dan bodoh, yaitu: Mami’ Mustiaji, Raden Ratmawa, Mami’ Bangkol, Raden Wiranom, Mami’ Nursasih, Raden Melaya dan Jero Ginawang, berturut-turut bertempat tinggal dan memerintah di Kopang, Rarang, Praya, Pringgabaya, Sakra, Masbagik dan Batu Kliang.
            Kami menulis surat ini juga atas nama desa dan dusun dari pulau ini, salam dan hormat kami sampaikan ke hadapan paduka Tuan Residen yang bersemayam di Buleleng. Kami harapkan surat kami yang terdahulu telah diterima dan kami berkeinginan untuk menyampaikan satu dan lain hal mengenai hubungan antara orang-orang Islam dan orang-orang Bali di sini. Yang pertama-tama kami mempermaklumkan bahwa Kerajaan Selaparang berasal kepunyaan orang Islam turun temurun dari nenek moyang kami telah menduduki pulau ini. Orang-orang Bali sebagai pendatang dengan paksa telah menempatkan pulau ini di bawah kekuasaannya.
            Kami telah memberikan pengakuan secara wajar kepada mereka, kami dijadikan rakyatnya dan dengan segala kesadaran selalu mentaati perintahnya, namun kami diperas dan diperlakukan secara kejam. Kami selalu taat akan perintah membayar upeti sawah dan kebun dengan padi dan kepeng dan beras secukupnya. Kami sebagai rakyat tidak pernah menunggak kepada mereka sebagai penguasa yang mengemudi di pulau ini. Kewajiban untuk mendirikan rumah atau bangunan lainnya, membuat tempat hiburan dan jalanan, kami selalu taat kepada perintahnya. Untuk melakukan macam-macam pekerjaan, kami membawa orang-orang kami dari tempat-tempat yang sangat jauh dan sangat memberatkan kami. Selain untuk raja, juga kami harus mengerjakan pekerjaan yang sama terhadap orang-orang bawahannya, namun sebagai apa yang kami kemukakan di atas, tetap kami diperlakukan dengan kekerasan. Menjatuhkan hukuman mati pada orang sangat mudah dengan tanpa pemeriksaaan terlebih dahulu, sama halnya dengan menenggelamkan orang di laut. Jika mereka membenci seseorang, dengan begitu saja dituduh telah membuat sesuatu kejahatan lalu dijatuhkan hukuman, kami tidak berdaya untuk mencegahnya. Seringkali terjadi harta benda kami seperti sawah, kebun, kerbau dan sapi, dirampas dengan tidak diberi ganti rugi, meskipun kami sebagai dikemukakan di atas tidak pernah menunggak atas pungutan pajak. Anak-anak kami sering diambil menjadi budak terutama anak perempuan dari orang-orang baik, diperkosa, beberapa diambil jadi gundik sedang sisanya diperlakukan sebagai buruh yang akhirnya menjadi pelacur.
            Kadangkala anak perempuan dewasa diperkosa, kadangkala anak perempuan yang masih di bawah umur ( 7 tahun ) terjadi bahwa orang tuanya jadi gila, tapi apakah yang dapat diperbuat, tidak seorangpun yang berani berbicara. Tiap tahun pajak dinaikkan dengan tidak adil. Juga kami mempunyai tanaman kopi jika sudah dipanen maka datanglah orang-orangnya raja untuk merampas semua hasilnya, sehingga untuk kebutuhan sendiri lalu kekurangan. Apabila ada dua atau tiga kali terjadi pada seseorang seketika lalu dirampas dan pemiliknya didenda, demikian halnya dengan kopi, yang kami peroleh dari Buleleng atau dari Sumbawa.
            Jika raja atau pembesar lainnya menghendaki sesuatu, apakah itu orang, kuda atau pakaian, lalu diambil dengan tanpa ganti rugi, diambil begitu saja. Atas perintah raja atau pembesar lainnya, harus selalu diadakan sabungan ayam dan perjudian lainnya, meraka yang sekedar mempunyai kekayaan habis musnah karena kalah, sedangkan yang lainnya menjadi pencuri. Raja menginginkan terjadinya semacam itu karena dari perjudian itu pajak terpungut, rakyat kecil semakin melarat dan jika perjudian semacam itu tidak diadakan, maka kepala desa itu dihukum. Ketentuan yang dijalankan terhadap penduduk pesisir sedemikian rupa sehingga sangat sulit untuk mendapatkan kehidupan, dilakukan pungutan atas barang-barang yang keluar masuk, atas beberapa barang yang sebenarnya tidak dikenakan bea juga dikenakan pungutan.
            Selanjutnya kami telah mendengar bahwa di Ampenan oleh raja telah diberlakukan semacam pajak uang, barang siapa yang membayar hutangnya maka dari jumlah tersebut diharuskan membayar 1% kepada mereka, juga kalau penduduk dari pedalaman datang membeli barang-barang. Pemborong yang bertugas untuk itu adalah Entjik “Oemar”, mungkin paduka tuan sudah mendengarnya. Perintah raja inipun kami taati, karena kami adalah rakyatnya, tapi terhadap persoalan tersebut di atas yang melampau keadilan paduka tuan akan merasakan sendiri. Selanjutnya kami mempermaklumkan, bahwa sewaktu perang antara Klungkung dengan Karang Asem, kami juga diperintahkan menyiapkan senjata dan pasukan. Ketika itu terhadap penduduk beberapa desa diadakan panggilan, yang juga oleh mereka, perintah ini ditaati. Mereka hanya mempunyai sekedar perbekalan membawanya ke sana, tetapi yang tidak membawa apa-apa sebagai bekal, setibanya di Karang Asem diperlakukan secara sangat buruk. Akhirnya mereka yang masih mempunyai sekedar sangu, melarikan diri kembali ke desanya, tapi masih ada yang masih tertinggal dan sekarang kami tidak mengetahui apakah mereka masih hidup atau sudah mati.
            Meskipun demikian kami  selalu mengikuti perintah raja. Selanjutnya kami juga mempermaklumkan, apabila di sini seorang Islam meninggal dunia dengan tidak meninggalkan keturunan  lelaki, maka semua keluarga perempuannya beserta dengan segala harta benda peninggalannya dinyatakan sebagi kepunyaan raja. Dari anak-anak gadisnya tidak ada cerita. Mereka akhirnya terkurung. Jika yang meninggal mempunyai saudara lelaki, mereka juga tidak mendapat apa-apa dan kemudian jika ada orang-orang Bali dari Karang Asem dibuang kemari, begitu mereka menerima tanah peninggalan itu, yang pada akhirnya penduduk sasak sebanyak mungkin ditekan. Mungkin paduka tuan juga sudah mendengar tentang kejadian mengenai seorang Tjina bandar Ketjoe yang meninggal di Ampenan, ia meninggalkan seorang istri dan seorang anak laki-laki, tidak punya anak,  semacam itulah pula ia diperlakukan.
            Tanah-tanah yang baik untuk dijadikan sawah dan kebun, seringkali terjadi tidak boleh digarap oleh rakyat kecil, tetapi dibuat untuk membangun kebun binatang yang hanya kesenangan Raja, di mana-mana didapati tanah semacam itu, karena kata Raja, terhadap orang-orang Islam, kita tidak perlu menaruh belas kasihan, yang mungkin hanya melakukan pemberontakan.
            Dari sini Paduka Tuan akan mendapat kesimpulan betapa kejam kami diperlakukan. Juga mereka telah menyatakan, mereka telah mendengar bahwa beberapa orang Islam dari Tangkah ( mungkin yang dimaksud Tangkah sama dengan tenga’ yaitu Lombok Tengah ), akan memberontak terhadap mereka, bahwa mereka disebabkan masih terlibat peperangan di Bali, mereka tidak dapat berbuat apa-apa, tetapi setelah peperangan selesai, semua orang akan memberontak terhadap mereka, beserta semua pemuka Islam, semua Haji dan semua pemuka agama akan dimusnahkan. Punggawa Bali Ida Bagus Gama Oka  menceritakan hal ini di rumah Haji Abdurrahman di Ampenan, dengan dihadiri oleh banyak orang, diantaranya beberapa orang dari Buleleng.
            Banyak anak-anak muda di sini yang sedang bertugas di puri, telah mendengar hal yang sama dan memberitahukan kepada kami. Keputusan yang diambil oleh Raja ini, sama sekali tidak beralasan dan selalu kami  mendengar bahwa banyak orang-orang Islam, terutama dari Praya yang akan dimusnahkan. Seorang anak muda yang bertugas di Puri juga telah mendengar dan memberitahukan kepada kawan sedesanya. Seketika, atas perintah Punggawa Bali dari Praya, seorang Islam telah dibunuh dengan tuduhan telah mencuri padi, yang mana tidak ada kebenarannya. Guru Bangkol telah tiga kali mendatangi Punggawa tersebut, namun segala keterangannya tidak didengar.
            Beliau lalu kembali ke Praya memberitahukan kejadian tersebut kepada penduduk, demikian pula penguasa telah mengemukakan, bahwa mereka akan dibunuh. Penduduk Praya lalu terjun ke dalam pertempuran. Ini terjadi pada tanggal 2 Bulan Muharram (8 Agustus).
            Ketika di Praya pecah pemberontakan, orang-orang Islam belum mengetahui persoalan ini dan masih mentaati perintah untuk melawan desa tersebut. Praya dikepung dan banyak kampung dibakar, penduduk yang berasal dari desa tersebut, yang menyerahkan diri karena mereka tidak mau turut   dengan pemberontakan itu, atas perintah Raja seketika dibunuh. Di antara mereka terdapat orang-orang yang sudah lanjut usia, orang-orang perempuan dan anak-anak. Kami turuti perintah Raja untuk bertempur melawan Praya dan dari pihak kami, jatuh banyak korban mati dan luka-luka.
            Di dalam persanguan kami harus membawa sendiri dengan jalan demikian sangat menyulitkan bagi yang datang dari jauh. Kami ikuti perintah Raja, namun demikian toh kami tidak percaya, sebagaimana mereka kemukakan, Praya tidak segera dapat ditindas, karena orang-orang Islam dengan jalan diam-diam bersekongkol dengan orang-orang di sana, oleh sebab itu tidak bertindak tegas. Oleh sebab itu kepala desa dari Batukliang beserta anak-anaknya dan semua pengikutnya, semua berjumlah 13 orang mendapat panggilan dari Poeyoeng ke Sakra, setibanya di sana mereka dibunuh; nasib yang sama juga diderita oleh Mami’ Ardita dari Praya (kakak dari guru Bungkol). Seorang putra dari Batukliang yang terbunuh turut menandatangani surat itu. Ketika kejadian tersebut berlangsung, dan semua Raden dan pemuka dari orang-orang Sasak yang dinamakan Timoer Joering, sedang berada hadir di tempat itu.
            Kepada Mami’ Nursasih kepala dari Sakra mendapat perintah dengan semua pengikutnya untuk membawa seputjuk meriam ke Mataram, dan sesudah berada di tengah jalan mereka mendengar bahwa mereka semua akan ditawan, mereka lalu pulang ke desanya di Sakra. Pada hari itu ada 150 orang penduduk Sakra, 150 orang penduduk Desa Djero Aroe dan 150 orang dari desa lain, yang berjumlah 450 orang ditawan dan diikat. Sewaktu orang-orang Islam mendengarnya, bahwa semua orang-orang itu akan dibunuh, mereka lalu bermufakat untuk memberontak terhadap Raja, yang mana mereka sudah mendengar dari pembicaraan akan perlakuan terhadap orang-orang Islam; demikian pula mereka sekarang melihat dengan mata kepala sendiri, bahwa teman-teman sedesanya disembelih sebagai penyembelihan ayam, tidaklah dapat dibiarkan berlarut-larut. Juga Raja telah mengemukakan, bahwa semua Haji akan dibunuh, karena menghasut orang-orang Sasak. Hal ini tidak pernah dilakukan oleh para haji; kami tidak dihasut oleh siapapun malah memberikan penjelasan yang sebenarnya dari apa yang terjadi, sebagai uraian di atas.
            Kami hanya sekelompok orang-orang miskin, apakah yang dapat kami buat? Segala apa yang kami uraikan tersebut di atas, belumlah merupakan sepersepuluh dari apa yang kami derita.
            Kami mengharapkan dengan sangat, agar Paduka Tuan menjumpai kami dan dapatlah kiranya kami mengemukakan segala sesuatu yang berhubungan dengan malapetaka yang menimpa kami. Dengan ini kami dapat berbuat sesuatu karena kami adalah orang-orang bodoh yang belum paham apa tata cara.
            Juga harapkan kami agar Paduka Tuan, sesudah kami menyampaikan segala sesuatu, dapatlah kiranya dianggap sebagai urusan sendiri.
            Seandainya ada kalimat kami yang janggal atau terdapat kekurangan dalam tata cara kami mohon maaf.
            Juga kami memperingatkan, apa yang kami mohon dalam surat kami yang terdahulu mengenai persenjataan dan menekankan atas keinginan kami, bahwa paduka tuan sudilah kiranya memberi balasan atas surat kami ini. Dengan persetujuan semua orang Islam dari pulau ini, juga tidak terkecuali dari semua desa, surat ini ditulis oleh Djero Mami’ Mustiadji dari Kopang, yang mana kepada mereka semua telah diberitahu.
            Kami menyampaikan salam ta’zim dan mengharapkan akan menerima sedikit jawaban.
            Ditulis di Kopang pada hari ketujuh bulan Djumadil Awal 1309 Hijriyah (9 Desember 1891).
           
1.      DJERO MUSTIADJI                        :  dari Kopang
2.      MAMI’ BANGKOL                           :  dari Praya
3.      MAMI’ NOERSASIH                        :  dari Sakra
4.      MAMI’ GINAWANG                         :  dari Batoe Kliang
5.      RADEN RATMAWA                         :  dari Rarang
6.      MAMI’ WIRANOM                           :  dari Pringgabaya
7.      RADEN MELAYA KOESOEMA      :  dari Masbagik

Dipetik dari Sejarah Lombok oleh Lalu Lukman
........................................................................................................... ......................................................................................................**** Tampilan posting sengaja admin batasi. Jika ingin membaca selengkapnya dan berniat tinggalkan komentar, silahkan klik judul dari postingan di atas. Selanjutnya akan tampil kotak komentar di bawah postingan. Demikian Kabar dari Seberang kali ini...tunggu kabar selanjutnya! Terima kasih atas kunjungannya. Semoga bermanfaat !

Selasa, 24 September 2013

BUKAN WANITA BIASA


ELLENA KHUSNUL RACHMAWATI


Lahir: Yogyakarta, 28 Februari 1969
Anak:
- Iqbal Raditya Haqie (21)
- Annisa Adinda Qita (16)
Pendidikan:
- SD Kanisius Tegalmulya, Yogyakarta
- SMP Stella Duce Yogyakarta
- SMA Stella Duce Yogyakarta
- Akademi Akuntansi Yayasan Keluarga Pahlawan Negara Yogyakarta, lulus 
  1999

Membangun sarana mengatasnamakan untuk kepentingan umum dengan kucuran dana dari pemerintah, itu sudah biasa. Peristiwa itu baru menjadi kisah luar biasa apabila pemberdayaan tersebut hanya bermodalkan semangat untuk menggalang potensi sumber daya yang dimiliki masyarakat. Bagaimana caranya? Perempuan bernama Ellena Khusnul Rachmawati punya jawabannya.


"Saya hanya berusaha memegang filosofi induk ayam," kata Ellena, Ketua Yayasan Masyarakat Peduli. Bagi warga Jalan Pejanggik 65, Kelurahan Pancor, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, ini, induk ayam digambaarkan selalu berbagi kehangat dengan janin dalam telur yang tengah dieraminya.
   Setelah menetas, sang induk ayam pun mengajak dan membimbing anak-anaknya mencari dan mengais makanan. Ketika sudah dewasa, jenis unggas itu bisa menjadi penunjuk waktu lewat suara kokoknya.
   Artinya, dalam proses pemberdayaan, masyarakat perlu pendampingan. Mereka perlu diajak bicara "dari hati ke hati" tentang realitas yang dihadapi sehari-hari. Lalu, dari fakta-fakta itu mereka diupayakan agar termotivasi untuk berbuat dan menemukan solusi.
  "Jalan keluar yang diyakini mampu mengatasi persoalan secara bersama-sama. Tentunya dengan potensi yang mereka miliki, tanpa bergantung pada pihak lain," kata Ellena.
   Pada pendekatan yang ditempuh Ellena tersebut bukanlah isapan jempol. Apa yang telah dia lakukan itu kemudian dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, misalnya warga di Desa Pijot, Lombok Timur.
   Usaha garam warga di Desa Pijot bisa hidup kembali dari "mati surinya" setelah "dierami" Ellena. Garam hasil usaha warga yang semula non yodium itu dijadikan produk garam beryodium.
   Bahkan, lewat jaringan kerjanya di antara sesama lembaga swadaya masyarakat (LSM), Ellena mendapat bantuan bahan-bahan formula untuk pproduk garam beryodium. Tak hanya itu, pihak eksekutif dan legislatif Lombok Timur juga "dipaksanya" untuk membuat peraturan daerah. Lalu, mereka bersama-sama mengawasi peredaran garam luar daerah yang bisa mematikan usaha garam rakyat lokal.

Desa binaan

   Belakangan, Ellena dipilih menjadi Ketua Forum Kabupaten Sehat yang beranggotakan Satuan Kerja Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten Lombok Timur. Ini setelah desa binaannya, yakni Desa Sajang, lewat program air bersih, dan Desa Kalijaga Timur dengan sanitasi dan lingkungan, meraih juara pertama pada Lomba Kabupaten Sehat Tingkat Nasional 2011.
   Tampil sebagai pembicara dalam berbagai seminar dari Papua sampai Aceh, Ellena juga dilibatkan sebagai tim penasihat ataupun tim ahli dalam berbagai bidang yang dibentuk pihak legislatif dan eksekutif. Semua itu adalah buah keberhasilan yang menyertai kiprahnya selama ini.
   Kendati telah dilibatkan dalam berbagai institusi,Ellena tidak memanfaatkan "jabatannya" tersebut untuk mendapatkan proyek. Dia paham betul bahwa sifat "aji mumpung" seperti itu justru membuat kepercayaan publik kepadanya akan meluntur.
   Di sisi lain, bisa dikatakan tidak seorang pun mampu menghalangi Ellena untuk menggelar program yang diyakininya bisa menggerakkan inisiatif dan partisipasi warga.
   Untuk melaksanakan program tersebut, Ellena yang dinilai berbagai pihak sebagai sosok yang "gila kerja" ini tidak ragu merogoh kocek pribadi. Dia juga tidak segan menunda gaji para staf kalau ternyata uang untuk gaji stafnya tersebut diperlukan lebih dahulu guna menalangi biaya program yang dilaksanakan untuk kepentingan warga.

Mengubah pola pikir

  Sikap seperti itu pula yang ditunjukkan Ellena dalam memelopori pemasangan pipa air bersih bagi masyarakat Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur.
   "Awalnya saya tidak percaya. Ironis, warga Desa Sajang yang bermukim di kaki Gunung Rinjani, yang notabene adalah sumber air, juga dikenal lewat produk bawang putihnya, justru mengalami krisis air bersih," kata Ellena, anak pasangan Yohanes Soeranto dan Rosalina Geertruida Vilanueva ini.
   Dengan filosofi induk ayam pula, Ellena berkali-kali mendatangi dan mendengar warga yang mencurahkan kesulitan mereka, terutama bagaimana mereka bisa mengatasi kesulitan air bersih yang kemudian dijadikan "isu bersama" itu.
   Warga lalu diajaknya membandingkan suasana empiris desa masa lalu dan kini. Tujuannya, lewat memori kolektif tersebut, warga akan "terbakar" semangatnya untuk mengatasi kesulitan di desanya.
   Untuk itu, Ellena kemudian merangkul pemuka masyarakat, tokoh agama, dan instansi teknis agar mau membantu. Semua itu dilakukannya sambil terus memompa semangat warga untuk mewujudkan cita-cita mereka. Pada 2009 ditemukan dua sumber air dengan debit 7 liter per detik pada ketinggian 2.200 meter di kawasan Gunung Rinjani.
   Maka, dalam waktu sekitar tiga bulan, terpasanglah pipa air sepanjang 25 kilometer dari sumber air tersebut, menerabas semak belukar dan bukit terjal berkemiringan 70 derajat-90 derajat, menuju permukiman warga.
   Saat proses pemasangan pipa berjalan, Ellena tetap turut mendampingi warga yang bergotong royong. Ia ikut menginap berhari-hari dan tidur di tempat terbuka, menahan cuaca dingin di kawasan tersebut. Dari sumber air itu, kini 1.015 keluarga atau 4.512 warga yang tersebar di empat dusun pun bisa menikmati air bersih.
   Ketika program yang diupayakannya membuahkan haasil, ada kebanggaan dan kepuasan menyertai batin Ellena. Program itu tak hanya mewujudkan cita-cita mereka secara fisik, tetapi juga dapat mengubah sikap dan pola pikir warga yang didampinginya.
   Misalnya, warga bisa menggunakan waktunya dengan lebih efektif. Sebab, mereka tidak lagi harus antre mulai pukul 03.00 guna mengambil air di sumber air terdekat. Selain untuk kepentingan rumah tangga, air itu juga cukup untuk mengairi lahan tanaman tomat yang dibudidayakan warga.
   "Kabarnya, ada 25 sepeda motor baru milik warga yang dibeli dari hasil penjualan tomat," katanya.
   Kemandirian masyarakat adalah sasaran Ellena. Oleh karena itu, manakala sasaran tercapai,  "Saya secepatnya pindah, melakukan pendampingan kepada warga di desa yang lain."
   Begitulah, "sang induk ayam" ini dengan kepak sayapnya pergi menghangatkan dan menetaskan "telur" baru di tempat yang baru. Dia berusaha mengingatkan orang lewat "kokoknya", mendampingi hingga warga mampu hidup mandiri.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 18 SEPTEMBER 2012

........................................................................................................... ......................................................................................................**** Tampilan posting sengaja admin batasi. Jika ingin membaca selengkapnya dan berniat tinggalkan komentar, silahkan klik judul dari postingan di atas. Selanjutnya akan tampil kotak komentar di bawah postingan. Demikian Kabar dari Seberang kali ini...tunggu kabar selanjutnya! Terima kasih atas kunjungannya. Semoga bermanfaat !